Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget



Kasus Kekerasan Pada Anak Meningkat, Apa Saja Faktor Penyebabnya?

 

Foto: Solehati Nofitasari, koordinator pendamping UPTD Perlindungan Perempuan danAnak Kabupaten Jember


GPPJEMBER.COM: Maraknya pemberitaan kasus kekerasan/pelecehan seksual pada anak seperti tidak ada habisnya. Kasus ini menjadi fenomena gunung es, karena para korban enggan melapor atau bercerita tentang perlakuan asusila yang dialami. Bahkan pada orang tua sendiri pun tidak berani, karena berbagai alasan, seperti  ancaman dari pelaku atau perasaan takut sekaligus malu karena menjadi aib keluarga.

Kekerasan/pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang tidak diinginkan, menyebabkan pelanggaran dan ketidaknyamanan, dan dapat (dalam beberapa situasi) berbahaya secara fisik dan mental. Korban dapat merasa terintimidasi, tidak nyaman, malu, atau terancam.

Hal tersebut di sampaikan oleh Poedjo Boedisantoso Kepala Unit Pelaksana Teknik Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) kabupaten Jember kepada tim jurnalis warga saat melakukan wawancara di kantornya, Jln. Dewi Sartika Jember 26/7/2022. Turut mendampingi pula koordinator  pendamping, Solehati Nofitasari beserta tim.

Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani UPTD PPA Kabupaten Jember selama tahun 2022 periode Januari-Juni, berjumlah 59 kasus. Bentuk kasus yang paling banyak ditangani yaitu kekerasan seksual sebanyak 40 kasus.
 
"Mengacu pada data yang ada pada kami, pada tahun 2022 ini ada peningkatan jumlah kasus kekerasan pada anak bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya" tukas Solehati.

Hasil analisa UPTD PPA Jember, ada banyak faktor penyebab maraknya kekerasan pada anak, diantaranya adalah:
1. Pola asuh orang tua.
Akibat kemiskinan banyak orang tua yang meninggalkan anaknya untuk bekerja di luar negeri, sehingga pengawasan dari orang tua terhadap anak justru makin berkurang. Pengasuhan dan pengawasan anaknya hanya diberikan kepada kakek/nenek atau pamannya.

2. Kemajuan teknologi.
Di zaman yang semakin modern seperti ini, tingkat pengawasan dari orang tua terhadap anak harusnya semakin meningkat dan disiplin. Apalagi yang berhubungan dengan pengawasan dalam penggunaan gadget, media sosial, dan informasi yang membuat anak terpengaruh. Oleh sebab itu PPA mendorong orang tua untuk lebih aktif membangun komunikasi aktif dengan anak – anaknya terkait aktivitas penggunaan gadget secara intens.

3. Minimnya pendidikan anak tentang kesehatan reproduksi.
Minimnya pendidikan kesehatan reproduksi. Berbicara masalah kesehatan reproduksi masih dianggap tabu oleh masyarakat. Pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi pada anak dilakukan sejak dini. Hal itu perlu dilakukan yaitu untuk memberikan pemahaman pada anak, mencegah anak melakukan aktifitas seksual yang tidak benar, agar anak tidak terkejut saat memasuki masa pubertas, menyadarkan anak tentang menjaga organ reproduksi, dan mencegah kehamilan usia anak.

"Menjadi penting pendidikan kesehatan reproduksi dimasukkan kurikulum sekolah, misal masuk dalam muatan lokal sekolah. Tanpa adanya pengetahuan mengenai pendidikan seksualitas, anak akan sulit untuk melawan perlakuan menyimpang tersebut. Sayangnya, masih banyak orang tua dan masyarakat yang merasa tabu dan apatis untuk membicarakan seksualitas kepada anak" Ujar Solehati.

Ditanya upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi kekerasan seksual pada anak, Solehati menyampaikan harus ada upaya kalaboratif dari semua pihak, pemerintah daerah, pemerintah desa sebagai yang terdekat dengan masyarakat dan lebih khusus lagi masyarakat itu sendiri.
"Pemerintah daerah komitmen dengan penegakan hukum, kami tidak ada kompromi pada pelaku kekerasan. Masyarakat jangan takut untuk melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya, menimpa keluarga atau warga yang ada di sekitarnya kepada aparat hukum" imbuhnya. 

Penulis: Muhlis
Editor: Fitri

Posting Komentar

0 Komentar